Penghujung Jalan

jari-jarimu mengalir bagaikan hujan
menyusur liuk selokan dan
sedu sedan persimpangan jalan
sebelum kau sampai pada sudut
yang membuat kita terpaut
“di sini?”

aku menepi
membiarkanmu meraba sepi
sketsa yang dengan sempurna kututupi
cat minyak dan harum aromaterapi
“ya,” jawabku kali ini

hanya ada kita berdua
dan hangat di sekeliling kita
saat waktu berhenti melaju
dan bayang-bayang kita bertemu
menjadi satu

“aku mencintaimu.”

Siang

Adalah asap yang tak kalah pekat daripada kabut
Juga bunyi klakson kendaraan yang lebih kuat dari suara jangkrik
Kuning yang bersih dari segala cacat
—ketidak-konsistenan warna antara ungu, merah, dan jingga

Adalah waktu dimana mentari tetap pada tempatnya
Tidak datang sebagai asing, tidak pergi sebagai teman
Ia berada di satu titik, di pucuk kepala setiap orang
Bukan di salah satu sisi: timur atau barat

Adalah hubungan yang lebih kuat terjalin
Antar manusia dengan manusia yang lain
Maka buat apa kita bercengkrama dengan embun, senja, dan purnama?
Mereka tak bisa membalas senyum

Adalah Siang dengan segala keindahan
Yang luput dari cerita setiap orang
Maka biar kutuliskan sendiri di sini
Perihal kehilangan mereka akan Siang

Aku dan Siang Tiada Berbeda

Seperti siang yang datang tanpa makna, aku tak miliki nuansa. Tak punya keterkaitan dengan keindahan, kerinduan, serta kegelisahan yang kau rasa.

Seperti siang yang bagai seorang pejalan jauh, aku hanya lewat di harimu. Mengantarkanmu untuk sampai pada waktu yang berbeda.

Seperti siang yang terbuang, aku tak mungkin kaulukiskan. Mustahil kauabadikan dalam syair-syair yang banyak memuat nama Senja.

Seperti siang yang hampa, aku tak pernah terbabit perkara cinta. Tiada hasrat dalam dirimu untuk tinggal pada waktuku.

Seperti siang yang kinantan, tiada warna yang bisa kausaksikan. Tiada lagi rasa yang tersisa saat kulihat kau dibuai cahaya purnama.

Seperti siang yang hilang dari cerita setiap orang, perlahan pergi tinggalkan butala.

Idrak

image
(Sumber foto: http://skrob.deviantart.com)

Karena pada hakikatnya, dunia berligar
Menampakkan sisi cendramawa
Yang seringkali tertutup birai;
Mata indahmu

Menyala bagai bara
Pancarona
Walau tanpa suryakanta
Ragamu tetap saja nirmala

Maka, biar kata
Tebu kauisap sampai habis manisnya
Sisakan pahit
Pada akal sehatku yang terjepit

“Aku tetap mencintaimu,” kataku
Selalu.
Hingga dunia halai-balai
Pecah menjadi sepai.

Jakarta, 31 Desember 2015

MEMOAR

image
http://www.allpaperpcmobile.com

Aku bisu tepat ketika, nostalgia menyerbu
Apakah ingatan yang gemar mempermainkanku, atau
apakah kilasan masa lalu memang selalu
datang pada mereka yang gagal memahami waktu?

Saat kuhirup aroma petrikor siang ini
kulihat Seruni dengan merah di pipi
berbalut elegi embun pagi
Bibirnya terbuka, menampakkan barisan gigi yang rapi
kala ia menagih janji-janji
yang sempat aku dustai

Tapi,
saat aku berbalik hendak menebus dengan “Ya”,
dewi waktu datang padaku
memaksaku kembali pada
masa di mana aku kini
Sementara jiwaku masih terjepit di antara
Yang nyata dan yang pernah ada.