Jangan!

Jangan dulu pergi—
jangan!

Sebab aku masih belum bisa mengerti
perihal kedatanganmu
Aku masih gagap meraba
makna kehadiranmu

Apakah engkau adalah karma
atau sebuah pengampunan—
aku bertanya pada malam

Tetapi ia menjawab diam
dan aku membalas pasrah.

Kataku Pada

Kataku pada kuncup-kuncup bunga,
aku mencintaimu.
Mereka mekar
harumnya mengisi seluruh ruangan

Kataku pada lengkung langit siang,
aku mencintaimu.
Mereka meluruh menjadi hujan
membasahi tanah kering kerontang

Kataku pada debur ombak pantai selatan,
aku mencintaimu.
Mereka meradang
sampai mampu memecah karang

Kataku pada cermin di sudut ruangan,
aku mencintaimu.
Mereka pecah
menjadi keping-keping kecil yang melukaiku.

Kucing Kecil di Suatu Pagi

Pagi ini, aku melihat kucingku. Terbaring malas di atas karpet bulu yang hangat, sementara hujan angin terus mengetuk jendela rumah kami.

Aku mengulurkan tangan, membelai kepalanya lembut. Ia bergerak sedikit—kepalanya terangkat, matanya terpejam—tetapi aku bisa menangkap kenikmatan yang ia rasakan. Hal itu membuatku gemas, sehingga kuputuskan untuk berhenti memanjakannya.

Kubangunkan ia dengan mengangkat tubuhnya ke udara seperti seorang ibu yang membuat anaknya menjadi pesawat terbang.

Berat.
Kucingku terasa berat.

Padahal, aku yakin bisa melemparnya ke angkasa dengan satu tangan ketika terakhir kali aku mengangkatnya. Tetapi, apa yang kuinginkan sekarang adalah segera menurunkannya ke lantai yang dingin sehingga ia bisa sadar sendiri dan bermain bersamaku.

Kenyataannya, meskipun aku telah mengembalikannya ke pelukan bumi, ia tetap tidak menanggapai keusilanku. Ketika kuinjak lembut ekornya, ia melepaskan diri dengan hati-hati. Ketika kudorong ia dengan kakiku, ia hanya menatapku sebal, lalu pindah ke sudut lain ruangan. Jadi, aku menyerah.

Kupikirkan baik-baik saran ibu untuk membuang kucing itu. Ibuku memang bukan penyuka kucing, tetapi ia memiliki toleransi yang cukup besar. Kami memiliki kesepakatan untuk membiarkan kucing itu sampai ia besar dan bisa mencari makan sendiri. Tapi, setiap kali ibu mengingatkanku akan perjanjian itu, aku selalu mengelak. Kubuktikan kalau ia masih seekor anak kucing kecil yang rapuh, yang bahkan belum bisa meminum air dari wadah tanpa masuk ke hidungnya.

Tapi sekarang, aku tidak bisa menghindar. Temanku bukan lagi kucing kecil hiperaktif yang selalu mengejar umpan yang kuberi. Dalam waktu secepat rambutku tumbuh dari telinga sampai bahu, ia menjelma jadi bantal bulu yang lebat, yang selalu tergeletak di tempat-tempat hangat untuk mendengkur. Tidak menolak ketika digendong, tidak menghampiri saat dipanggil. Hanya membuka sedikit matanya, kemudian tidur lagi.

Betapa mengerikan melihat perubahan—yang entah bagaimana terlihat sebagai kemunduran—secara terang-terangan. Apakah ini yang juga dirasakan semua ibu di dunia ketika melihat anaknya tumbuh besar dan mendekati kemunduran… maksudku, kematian?

Di luar, hujan telah berhenti. Sebentar lagi, kucing kami pasti akan berdiri, kemudian menggaruk-garuk daun pintu minta dibukakan. Lalu, seorang remaja tanggung akan berlari menyusul ke luar. Dengan kaki telanjang, bermain genangan air bersama seekor kucing hiperaktif di bawah naungan langit yang masih menyisakan tetes-tetes kenangan.

Jakarta, 16 November 2016
Untuk kucing yang selalu kecil di mataku,
Sunkist.