Gadis di Sudut Ruangan 2: Mimpi-Mimpi Buruk

(source: http://www.mcad-mfa.com)

Khayalan di luar batas dan mimpi-mimpi yang fantastis adalah paket dari kelahiranku. Mereka hidup dalam setiap keping darah yang mengalir dalam tubuhku, tumbuh, berkembang biak dan bermutasi menjadi lebih kuat sampai aku tak mampu lagi mengatasinya. Seringkali aku terjebak dalam mimpi buruk yang panjang, atau mengalami lumpuh tidur lima kali dalam satu malam—diikuti oleh monster-monster mengerikan dan langkah kaki yang mendekati tubuh lumpuhku—atau mimpi dalam keadaan terjaga yang mebuatku hampir jatuh ketika mengendarai sepeda motor, serta mimpi yang aku tak tahu apakah itu nyata atau tidak, yang pasti, mimpi tersebut membuatku tak bisa tidur meski aku begitu menginginkannya—selamanya.

Pernah sekali, aku melihat ibuku menyebrangi lintasan kereta di depan rumah tepat ketika klakson commuter line menghujam telingaku. Suaranya ribuan kali lipat lebih kuat hari itu, sehingga mampu membuat jantungku berhenti berdetak selama dua detik. Kemudian, timbulah garis panjang berwarna merah yang menghubungkan lintasan kereta dengan rumahku. Seperti magnet, garis itu mampu menarik minat semua orang untuk berkumpul dan berseru. Ibuku, dengan setengah kesadarannya, memberanikan diri untuk melihat ke arah kaki kirinya yang hampir putus sebelum akhirnya tak sadarkan diri bersamaan dengan deru mobil Jeep yang membawanya menghilang dari pandangan.

Poft!

Umurku sebelas saat aku mulai memimpikan kejadian-kejadian buruk. Aku melihat lantai rumahku penuh dengan cairan kental berwarna merah, yang sumbernya berasal dari surga; di bawah telapak kaki ibu. Melihat surgaku dilindas kereta, tentu saja aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tetapi aku hanya diam mematung, menyaksikan seluruh kejadian dengan mulut terkatup rapat dan bibir yang gemetar. Mungkin, aku lupa cara menangis. Karena aku telah meledak berkeping-keping di dalam.

Jika kutahu merah dapat menarik perhatian semua orang, maka, biarlah warna tersebut menjadi warna kesukaanku mulai hari itu. Merah. Seindah bunga mawar, semenakutkan darah. Aku tidak tahu mengapa, tetapi, aku benar-benar mencari pakaian berwarna merah setelahnya. Ketika semua orang meninggalkan rumah kami, dan ayah serta ibu meninggalkanku bersama adik kecilku, aku membasuh diri dengan air dingin dari pancuran. Air yang mengalir ke lidahku terasa asin. Segalanya memang terlihat salah sejak awal.

“Ibu … Ibu ….”

Adikku tak bisa berhenti menangis, atau aku yang memang tak pernah mampu membuat kesedihannya berakhir. Nyatanya, aku tetap bergeming—mendengarkan tangisan itu layaknya menikmati simfoni Wolfgang Amadeus Mozart. Kalau saja aku tidak sedang menyenandungkan laguku sendiri dalam diam, mungkin, aku mampu mendengarkan tangisannya sampai ia tidak bisa menangis lagi.

Jadi, aku beringsut mencari ponsel untuk menghubungi seorang kerabat yang mampu membungkam nyanyian adikku. Meskipun pada akhirnya, aku tidak pernah menemukan ponsel yang kucari. Aku melupkannya. Aku melupakan segalanya ketika yang kutemui adalah ponsel lain; dengan keypad Arabic yang dibeli saat dinas ke Libya, dan pinggiran besi berkilau yang menandakan bahwa pemiliknya adalah seorang yang apik, berhati-hati, dan pandai menyimpan rahasia … tetapi tidak dariku.

Aku mengetahu sandinya. Pernah kulihat ia membuka ponselnya satu meter di sampingku. Tentu saja, saat itu, aku belum menderita kerusakan refraktif mata.

Ada beberapa hal yang tidak bisa kau jelaskan, seberapa keras kau mencoba. Mimpi adalah salah satunya. Meskipun kau berusaha keras mengingatnya, tidak pernah ada gambaran konkret dan kronologis yang muncul dalam kepalamu. Lalu, pada saat kau tidak menginginkannya, seringkali mimpi itu datang. Mulai dari kejadian-kejadian sekilas, sampai membentuk cerita yang hampir utuh. Walau begitu, kau tetap mengalami kesulitan dalam menceritakannya. Begitu juga aku.

Aku pernah bermimpi, mimpi di dalam mimpi, mimpi bahwa aku tengah bermimpi. Tepat ketika ponsel dalam genggamanku berhasil terbuka, aku menemukan mimpi-mimpi buruk yang lain.

Ayah, Brian sedang sakit. Bisakah kau pulang ke Prabumulih?
Ayah, Honest ingin melihat Monas.
Ayah, aku merindukanmu.

Aku tertawa, hambar.

Apakah aku terjaga?

“Ya,” kata suara itu.

Berapa usiaku sekarang?

“Sebelas.”

Apakah ini mimpi di dalam mimpi?

“Kau bermimpi bahwa kau tengah bermimpi.”

Lantas, siapa kau?

“Aku adalah setengah dari dirimu yang datang untuk membuatmu tetap waras.”

Aku mengerjapkan mata. Sekarang, bisa kulihat sosok itu dengan jelas. Gadis berambut jagung yang berdiri di sudut ruang kamarku, dengan bibir pecah-pecah dan kulit sawo matang yang tidak menarik.

Sekali lagi, aku bertanya padanya.

Yang mana yang nyata: Aku, atau Kau?

Ia terseyum.

“Selain kita, semua yang terjadi hari ini adalah nyata.”

2017

Satu pemikiran pada “Gadis di Sudut Ruangan 2: Mimpi-Mimpi Buruk

Tinggalkan komentar