Ibu, Sadarlah

Ibu, sadarlah. Waktu terus berjalan.

Kita sedang tidak hidup di masa lalu, di mana ayah akan pulang pukul sembilan, kemudian seorang anak perempuan berlari menuju pintu; hendak membukakan. Kita sedang tidak hidup di masa lalu, di mana ia akan mencium keningmu setelah engkau selesai memasangkan dasi dan membuatkan bekal makan siang.

Ibu, sadarlah.

Waktu adalah seorang pejalan jauh yang bisa meninggalkanmu di belakang. Terpenjara dalam kegelapan, dibelenggu kebimbangan. Tetapi aku, Ibu, aku akan selalu berada di dekatmu.

Biarkan waktu pergi, tetapi tidak denganku. Aku akan selalu berada di sisimu, menggandeng tanganmu agar kita berjalan perlahan; mengejar waktu yang semakin di depan.

Ibu, aku tidak pernah takut ditinggal waktu. Jadi, istirahat saja sejenak jika itu maumu. Anakmu akan selalu ada di sana, di bawah naungan lagu tidur yang seringkali kau nyanyikan. Ia akan menunggumu, ia akan selalu merindukanmu seperti gurun merindukan hujan.

Ibu, sadarlah, dan genggam tanganku.

Waktu memang seorang pejalan, tetapi kita adalah pengemudi. Bersamamu, Ibu, kita akan lalui waktu. Walau perlahan, walau seringkali kau menengok ke belakang, kita akan mengejar waktu; melepaskan diri dari cengkraman masa lalu.

Kemudian, kita akan tiba di sana.

Di tempat di mana ayah hanyalah sesuatu untuk dikenang. Di tempat di mana kita akan membangun sarang bersama adik-adik dan mimpi-mimpi yang baru.

Jadi, Ibu, sadarlah.

Karena waktu telah berada tujuh tahun di depan kita.

2 pemikiran pada “Ibu, Sadarlah

Tinggalkan komentar