Di Ujung Waktu

​Aku harap, gerimis teriak jadi hujan lebat. Dengan begitu, tak perlu ada aku, kamu, dan pertemuan malam itu. Biar malam sisakan tanya, daripada fakta yang tak pernah bisa kuterima. Tetapi hidup tidak didesain seperti itu, katamu. Ketidakpastian memang selalu datang pada papan permainan, tetapi tidak pada finalnya.

“Jadi, bagaimana?”

Tanyamu tidak menukik, tidak curam dan berbatu. Tanyamu selembut kepakan sayap burung gereja, terbang rendah di udara dan mendarat sempurna di landasan telinga.

“Apa?” jawabku, berusaha membuang waktu sebanyak yang kumampu.

Tapi tidak denganmu. Kamu tampak gusar, takut kalau langit menjatuhkan tetes-tetes air tawar lebih banyak lagi. Jika sudah begitu, kamu tau. Aku akan menunggangi langit dan lari terbirit-birit.

“Jangan coba membuang sesuatu yang tidak kamu punya.”

Ada getir terkandung pada setiap katamu seperti resep salah takar. Pahit, agak pedas. Atau karena itu kah kamu dengan mudah memuntahkannya padaku? 

Malam semakin muram, begitu pun kamu. Kalian jengah melihatku yang tak kunjung berkata-kata. Tetapi mauku memang begitu; membuang-buang waktu yang katamu tak pernah kupunya. Maka, biar kutunjukkan padamu bahwa aku bisa menahan jawabnya sampai malam pamit dan pagi tiba.

Aku ingin menangkap malam, hujan, dan kamu, kemudian memasukannya ke kapsul waktu. Kalian akan abadi dalam tanah yang tak pernah kugali. Waktu akan lewat dengan cepat, tapi kalian tak akan pergi kemana-mana. Dengan begitu, pagi tak akan mampu membangunkanmu dan memisahkan kita berdua ….

“Aku akan berangkat sebentar lagi,” katamu, pasrah. Memilih monolog dramatik pada akhirnya. “Aku akan berangkat dengan atau tanpa jawabmu. Bukan kah kamu pikir, waktu bisa mewakilimu?”

Waktu.

Aku membeku, tapi kamu tersenyum. Miris. Sementara hatiku teriris, tak kuasa menahan tangis yang tak kamu gubris. 

“Selamat tinggal,” ucapmu.

Lalu, kamu menghilang di balik hujan bulan November, sementara aku terjebak dalam kapsul waktuku sendiri, tidak bergeser kemana-mana. Benar katamu. Waktu akan menjawab empat tahun lagi, dengan bahasa pembuktian yang paling jujur. Bukan suara, atau aksara. Waktu tak butuh itu. Waktu hanya ingin aku tahu saat kamu pulang dengan gelar S1, tapi bukan untukku.

Jangan!

Jangan dulu pergi—
jangan!

Sebab aku masih belum bisa mengerti
perihal kedatanganmu
Aku masih gagap meraba
makna kehadiranmu

Apakah engkau adalah karma
atau sebuah pengampunan—
aku bertanya pada malam

Tetapi ia menjawab diam
dan aku membalas pasrah.

Malam Tanpa Bulan

Dalam bayangan mimpi yang hancur, aku melihat bulan. Yang tetap bersinar, tak peduli seberapa besar badai dan seberapa pekat awan. Tak peduli cahaya siapa yang ia siarkan—selama dunia masih memiliki secercah cahaya, tak ada lagi yang ia butuhkan.

Tetapi aku, aku disini, membutuhkan bulan. Yang semakin kukejar malah semakin jauh. Di bawahnya, terdapat danau. Airnya tak lagi biru, melainkan hitam. Danau itu, kawan, tidak pergi kemanapun. Tetapi ia berhasil membuat bulan melompat masuk ke dalam airnya yang kelam, sehingga cahaya menembus sebagian dari tubuhnya—sementara aku masih disini. Berusaha merampas cahaya itu, namun tak mampu.

Danau mendekapnya erat, selagi bulan membiarkan dirinya tenggelam lebih jauh, memberikan cahaya pada danau. Lututku kaku katika badai mulai menyentuh kulit ku, menarikku masuk ke dalam kegelapan yang abadi, menghindari cahaya bulan yang masih saja bersinar.

            Mengapa ini terjadi?

Mana ku tahu. Yang jelas, di tengah kegelapan yang menyergapku kasar, aku melihat bulan. Tersenyum pada danau ketika mereka akhirnya bersatu dalam bayangan mimpi yang hancur—entah mimpi siapa itu. Angin berembus keras, tertawa tepat di lubang telingaku sehingga membuat anting-anting ku bergetar. Bulanku telah pergi, melesat sebelum cahayanya sempat kutangkap. Membiarkanku berdua bersama badai yang bulan pikir kucintai.