Ibu, Sadarlah

Ibu, sadarlah. Waktu terus berjalan.

Kita sedang tidak hidup di masa lalu, di mana ayah akan pulang pukul sembilan, kemudian seorang anak perempuan berlari menuju pintu; hendak membukakan. Kita sedang tidak hidup di masa lalu, di mana ia akan mencium keningmu setelah engkau selesai memasangkan dasi dan membuatkan bekal makan siang.

Ibu, sadarlah.

Waktu adalah seorang pejalan jauh yang bisa meninggalkanmu di belakang. Terpenjara dalam kegelapan, dibelenggu kebimbangan. Tetapi aku, Ibu, aku akan selalu berada di dekatmu.

Biarkan waktu pergi, tetapi tidak denganku. Aku akan selalu berada di sisimu, menggandeng tanganmu agar kita berjalan perlahan; mengejar waktu yang semakin di depan.

Ibu, aku tidak pernah takut ditinggal waktu. Jadi, istirahat saja sejenak jika itu maumu. Anakmu akan selalu ada di sana, di bawah naungan lagu tidur yang seringkali kau nyanyikan. Ia akan menunggumu, ia akan selalu merindukanmu seperti gurun merindukan hujan.

Ibu, sadarlah, dan genggam tanganku.

Waktu memang seorang pejalan, tetapi kita adalah pengemudi. Bersamamu, Ibu, kita akan lalui waktu. Walau perlahan, walau seringkali kau menengok ke belakang, kita akan mengejar waktu; melepaskan diri dari cengkraman masa lalu.

Kemudian, kita akan tiba di sana.

Di tempat di mana ayah hanyalah sesuatu untuk dikenang. Di tempat di mana kita akan membangun sarang bersama adik-adik dan mimpi-mimpi yang baru.

Jadi, Ibu, sadarlah.

Karena waktu telah berada tujuh tahun di depan kita.

JEJAK

image
(Sumber foto: loseweightandgainhealth.files.wordpress.com)

Selain kelahiran dan kematian, ada satu yang pasti di dalam hidup. Itu, kedatangan, dan, kepergian. Tidakkah kau juga rasa? Bahwa manusia datang dan pergi, datang dan pergi lagi, meskipun mereka belum mati. Kau akan menyadarinya ketika kau melihat buku telepon lamamu. Tengok nama yang pada suatu waktu sering sekali kau hubungi. Masihkah kau?

Jadi, Sayang, jangan kaget ketika besok aku tak lagi menjawab pesanmu. Jangan heran bila, suatu hari kita berpapasan dengan perasaan yang berbeda. Karena aku pernah datang, dan yang datang pasti pergi. Kau akan kembali di masa di mana aku tak pernah datang ke dalam hidupmu. Aku akan kembali tiada, aku akan kembali menjadi bukan milikmu. Siapkah kau?

Kabar baiknya, Sayang, setiap yang pergi pasti meninggalkan jejak. Apakah jejak itu dapat disentuh, atau hanya bisa diingat … itu tetaplah jejak. Karena manusia bukan hantu, they will leave a footprint. Pada suatu waktu, kuberikan kau buku-buku ceritaku. Kutuliskan kau dalam cerpenku, kujadikan kau bait puisiku. Anggaplah itu sebagai jejakku, jejak yang sama berarti seperti bunga di tepi jalan yang kau petik untukku.

Aku sempat datang, sebelum akhirnya pergi. Tetapi paling tidak, kau tetap dapat mengingatku ‘kan?

Malam Tanpa Bulan

Dalam bayangan mimpi yang hancur, aku melihat bulan. Yang tetap bersinar, tak peduli seberapa besar badai dan seberapa pekat awan. Tak peduli cahaya siapa yang ia siarkan—selama dunia masih memiliki secercah cahaya, tak ada lagi yang ia butuhkan.

Tetapi aku, aku disini, membutuhkan bulan. Yang semakin kukejar malah semakin jauh. Di bawahnya, terdapat danau. Airnya tak lagi biru, melainkan hitam. Danau itu, kawan, tidak pergi kemanapun. Tetapi ia berhasil membuat bulan melompat masuk ke dalam airnya yang kelam, sehingga cahaya menembus sebagian dari tubuhnya—sementara aku masih disini. Berusaha merampas cahaya itu, namun tak mampu.

Danau mendekapnya erat, selagi bulan membiarkan dirinya tenggelam lebih jauh, memberikan cahaya pada danau. Lututku kaku katika badai mulai menyentuh kulit ku, menarikku masuk ke dalam kegelapan yang abadi, menghindari cahaya bulan yang masih saja bersinar.

            Mengapa ini terjadi?

Mana ku tahu. Yang jelas, di tengah kegelapan yang menyergapku kasar, aku melihat bulan. Tersenyum pada danau ketika mereka akhirnya bersatu dalam bayangan mimpi yang hancur—entah mimpi siapa itu. Angin berembus keras, tertawa tepat di lubang telingaku sehingga membuat anting-anting ku bergetar. Bulanku telah pergi, melesat sebelum cahayanya sempat kutangkap. Membiarkanku berdua bersama badai yang bulan pikir kucintai.