Gadis di Sudut Ruangan

Selain bersama kedua orangtua, tiga adik, dan empat kucing, ada satu orang lagi yang tinggal bersamaku. Rupanya buruk sekali—rambut jagung, kulit kering dan bibir pecah-pecah, wajah penuh bercak merah yang meradang karena selalu digaruk—yang terburuk daripada gadis lain seusianya. Hubungan kami tidak baik, kami hanya berbicara sesekali. Ia memulai lebih sering, ketika ia pikir aku hendak mengambil keputusan yang salah, atau ketika ia pikir aku jadi lebih buruk daripada dirinya. Padahal, ia lah seburuk-buruknya hal yang pernah kulihat di dunia ini.

Hari ini, ia berdiri di sudut kamarku. Menimbang-nimbang apakah ia harus meminum obat batuk lebih dulu, atau obat alergi. Alergi sama buruknya dengan batuk, keduanya membuat ia tidak bisa tidur… begitu pula aku, karena suaranya betul-betul mengganggu. Kusarankan ia pergi ke dokter, tetapi kutahu ia tak bakal setuju. Gadis itu memiliki beban berlebih pada kakinya yang ia umpamakan sebagai “rantai tak kasat mata.” Dibelenggu bersama lantai kamar tidur. Jadi, tak mungkin ia keluar lebih jauh daripada kamarku.

“Kalau begitu, dua sendok obat batuk pada pagi hari, dua sendok lagi pada malam hari. Obat alergi diminum satu tablet pada pagi, siang, dan malam hari. Berikan jeda waktu paling tidak satu jam. Bagaimana?” tanyaku padanya. Aku jelas bukan dokter, tetapi melihat ia menenggak obat batuk melebihi dosis setiap kali tenggorokannya gatal membuatku bergidik. Jadi, kupikir, saranku yang tanpa dasar ini jauh lebih baik.

Cukup sampai satu jam ke depan saja saranku didengar, karena ia kembali menuang obat batuk ke dalam sendok makan ketika batuk berdahak itu kambuh lagi. Kuhitung sudah tiga sendok, padahal masih siang. Obat alergi yang sempat ia pertimbangkan malah tidak diminum, padahal wajahnya sudah merah seperti tomat.

“Salahkan gadis yang tak mau makan…”

Suara itu bergema, suara yang kutakuti, suara yang selalu kuhindari. Wajahku berpaling dengan cepat menuju sudut ruangan, tempat gadis itu terpuruk dengan obat-obatan ditangannya. Tetapi dia malah memandangku jijik, seakan aku lebih rendah daripada amuba.

“Apa?” tanyanya tajam ketika mata kami bertemu.

Aku tidak menjawab, setengah mati berusaha tidak peduli ketika ia kembali menggaruk kulitnya yang kering dengan kukunya yang panjang. Dalam waktu kurang dari tiga detik, kulit tangan itu sudah penuh dengan cakar-cakar mengerikan yang diabaikannya. Aku jelas merinding, membayangkan bagaimana jika kulitnya adalah kulitku. Masa-masa kuliahku pastilah jadi yang terburuk karena tak ada satupun orang yang mau dekat-dekat dengan gadis penuh bekas luka.

“Ambilkan aku air,” suaranya bergema, memerintahku turun ke bawah. “Untuk menelan obat alergi.”

Kuperhatikan ia sejenak, sebelum meringsut turun ke bawah karena tak tahan dengan matanya yang melucuti seluruh yang kukenakan habis-habisan. Kakiku enggan berjalan, entah sejak kapan. Rasanya berpindah tempat jadi semakin sulit karena aku tidak bertenaga. Kupikir aku butuh matahari, tetapi suara gadis itu berembus bagaikan angin, menyapa telingaku dengan kalimat, “kau butuh makan.”

Aku bergidik, cepat-cepat mencarikan air dan body lotion untuk kulit yang rapuh. Lalu, kembali ke atas bersama gadis itu. Aku terikat dengan kamarku. Jadi, meskipun aku tak suka berada berdekatan dengan gadis itu, aku tetap saja beranjak ke atas lebih cepat daripada turun ke bawah dan bertemu orang lain.

Dan, ia masih ada di sana. Menungguku dengan mata yang terbelalak seperti hendak keluar. Mata yang menuduh kalau aku hendak membunuhnya. Memang aku apa? Aku membawakannya minum. Jadi, sementara aku mengolesi kulitku dengan body lotion dan bibirku dengan pelembab untuk menutupi ketidaksempurnaan ku, ia meminum obat alergi itu dengan air dingin dari lemari es.

Tinggalkan komentar